ABOUT AUTHOR

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 11 Agustus 2016

Kodifikasi Hadist : Sejarah Dan Perkembangannya


A.    Pengertian Kodifikasi Hadist
Kodifikasi atau tadwin hadith secara resmi di sinonimkan dengan tadwin al hadith Rasmiyan, tentunya akan berbeda dengan penulisan hadith atau kitabah al hadith. Secara etimologi kata kodifikasi berasal katacodification yang berarti penyusunan menurut aturan/ sistem tertentu.[1] Atau dari kata tadwin dapat berarti perekaman (recording), penulisan (writing down), pembukuan (booking), pendaftaran (listing, registration).Lebih dari itu, kata tadwin juga berarti pendokumentasian, penghimpunan atau pengumpulan serta penyusunan. Maka kata tadwin tidak semata- mata berarti penulisan, namun ia mencakup penghimpunan, pembukuan dan pendokumentasian.[2]
Jadi yang dimaksud dengan kodifikasi hadith secara resmi adalah penulisan hadith nabi yang dilakukan oleh pemerintah yang disusun menurut aturan dan sistem tertentu yang diakui oleh masyarakat.
Adapun perbedaan antara kodifikasi hadith secara resmi dan penulisan hadith adalah :
1.      Kodifikasi Hadist secara resmi dilakukan oleh suatu lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, sedang penulisan hadist dilakukan perorangan.
2.      Kegiatan kodifikasi hadist tidak hanya menulis, tapi juga mengumpulkan, menghimpun dan mendokumentasinya.
3.      Tadwin Hadist dilakukan secara umum yang melibatkan segala perangkat yang dianggapkompeten terhadapnya, sedang penulisan hadist dilakukan oleh orang-orang tertentu.[3]


B.     Latar  Belakang Kodifikasi Hadist
Ide penghimpunan hadist nabi secara tertulis untuk pertama kali dikemukakan oleh Khalifah Umar bin al Khattab (633 M). Ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena Umar merasa khawatir umat Islam akan terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Qur’an. Pembatalan niat Umar untuk menghimpun hadist nabi itu dikemukakan sesudah beliau melakukan sholat Istikharah selama satu bulan. Kebijaksanaan Umar dapat dimengerti karena pada zaman Umar daerah Islam telah semakin luas dan hal itu membawa akibat jumlah orang yang baru memeluk Islam semakin bertambah banyak.
Memasuki periode tabi’in, sebenarnya kekhawatiran membukukan/ kodifikasi hadith tidak perlu terjadi, justru pada periode ini telah bertabur hadist-hadist palsu yang mulai bermunculan setelah umat Islam terpecah menjadi golongan- golongan, yang semula berorientasi politik berubah menjadi faham keagamaan, seperti Khawarij, Syi’ah, murji’ah, dan lain- lain. Perpecahan ini terjadi sesaat setelah peristiwa tahkim yang merupakan rentetan peristiwa yang berasal dari terbunuhnya khalifah Umar bin Affan ra. Untuk mengukuhkan eksistensi masing- masing golongan mereka merasa perlu mencipta hadith palsu.
Kemudian semua karya tentang hadith dikumpulkan pada paruh akhir abad ke- 2H/ 8M atau selama abad ke-3/9M. Berbagai catatan sejarah menunjukkan bahwa di seputar awal abad ke-2H, sejumlah kecil muhadditsun(ahli hadith) telah mulai menulis hadith, meskipun tidak dalam himpunan yang runtut. Belakangan koleksi kecil ini menjadi sumber bagi karya-karya yang lebih besar. Meskipun begitu kebanyakan hadith yang ada dalam himpunan- himpunan besar disampaikan melalui tradisi lisan. Sebelum dicatat dalam himpunan- himpunan tersebut belum pernah dicatat di tempat manapun.
Ada beberapa pendapat yang berkembang mengenai kapan kodifikasi secara resmi dan serentak dimulai.
a.       Kelompok Syi’ah, mendasarkan pendapat Hasan al-Sadr (1272-1354 H), yang menyatakan bahwa penulisan hadis telah ada sejak masa Nabi dan kompilasi hadis telah ada sejak awal khalifah Ali bin Abi Thalib (35 H), terbukti adanya Kitab Abu Rafi’, Kitab al-Sunan wa al-Ahkam wa al-Qadaya.
b.      Sejak abad I H, yakni  atas prakarsa seorang Gubernur Mesir ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan yang memerintahkan kepada Kathir bin Murrah, seorang ulama Himsy untuk mengumpulkan hadis, yang kemudian disanggah Syuhudi Ismail dengan alasan bahwa perintah ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan bukan merupakan perintah resmi, legal dan kedinasan terhadap ulama yang berada di luar wilayah kekuasaannya.

c.       Sejak awal abad II  H,   yakni masa Khalifah ke-5 Dinasti ‘ Abbasiyyah, ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz yang memerintahkan kepada semua gubernur dan ulama di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan hadith- hadith Nabi. Kepada Ibnu Shihab al-Zuhri, beliau berkirim surat yang isinya:” Perhatikanlah hadis Rasulullah SAW., lalu tulislah. Karena aku mengkhawatirkan lenyapnya ilmu itu dan hilangnya para ahli” dan kepada Abu Bakar Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm, beliau menyatakan: “Tuliskan kepadaku hadis dari Rasulullah yang ada padamu dan hadith yang ada pada  ‘Amrah (Amrah binti Abdurrahman, 98 H), karena aku mengkhawatirkan ilmu itu akan hilang dan lenyap.”

Dengan demikian, penulisan hadith yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai ditulis pada masa Nabi, baru diupayakan kodifikasinya secara serentak, resmi dan massal pada awal abad II H, yakni masa ‘Umar bin ‘Abdul’Aziz, meskipun bisa jadi inisiatif tersebut berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir yang pernah mengisyaratkan hal yang sama sebelumnya.




C.      Tokoh-Tokoh Kodifikasi

Adapun siapa kodifikator hadis pertama, muncul  nama Ibnu Shihab al-Zuhri (W. 123 H), karena beliaulah yang pertama kali mengkompilasikan hadith dalam satu kitab dan menggandakannya  untuk diberikan ke berbagai wilayah, sebagaimana pernyataannya: ”Umar bin ‘Abdul ‘Aziz memerintahkan kepada kami menghimpun sunnah, lalu kami menulisnya menjadi beberapa buku.” Kemudian beliau mengirimkan satu buku kepada setiap wilayah yang berada dalam kekuasaannya. Demikian pandangan yang dirunut sebagian besar sejarawan dan ahli Hadith.Adapun ulama yang berpandangan Muhammad Abu Bakr ibn Amr ibn Hazm yang mengkodifikasikan hadithpertama, ditolak oleh banyak pihak, karena tidak digandakannya hasil kodifikasi Ibn Amr ibn Hazm untuk disebarluaskan ke berbagai wilayah.
Meski demikian, ada juga yang berpendapat bahwa kodifikator hadith sebelum adanya instruksi kodifikasi dari Khalifah Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz telah dilakukan, yakni oleh Khalid bin Ma’dan (W. 103 H). Rasyid Ridha (1282-1354 H) berpendapat seperti itu, berdasar periwayatan, Khalid telah menyusun kitab pada masa itu yang diberi kancing agar tidak terlepas lembaran-lembarannya. Namun pendapat ini ditolak ‘Ajjaj al-Khatib, karena penulisan tersebut bersifat individual,  dan hal tersebut telah dilakukan jauh sebelumnya oleh para sahabat.  Terbukti adanya naskah kompilasi hadis dari abad I H, yang sampai kepada kita, yakni al-Sahifah al-Sahihah.

Setelah periode Abu Bakar  bin Hazmdan Ibnu Shihab Al Zuhri, periode sesudahnya bermunculan ahli hadist yang bertugas sebagai kodifikasi hadistjilid ke-2 yaitu:
a.       Di Mekkah , Ibn Jurraj(w.150 H)
b.      Di Madinah , Abu Ishaq(w.151  H)dan Imam Malik(w.179 H)
c.       Di Basrah, Arr Rabi’ Ibn  Shahih(w.160  H),, Said bin Abi Arubah(w. 156 H) dan Hamud bin Salamah(w.176 H)
d.      Di Kufah, Sofyan Tsauri(w.161H)
e.       Di Syam/Sriya, Al Auza’I(w.156 H)
f.       Di Wasith/Iraq, Hasyim(w. 188 H)
g.      Di Yaman,  Ma’mar (w.153 H)
h.      Di Khurasan/iran ,  Jarir bin  Abdul Namid (w.188H dan Ibnu Mubarrak(w.181 H)

D.    Karya-Karya Hadist Menurut Abad Dan Ciri-Cirinya

1.      Kodifikasi Hadist Pada Abad Ke 2 Hijriah
Dalam abad ini Umar Bin Abdul Aziz yang menduduki jabatan khalifah dari tahun 99 H sampai dengan 101 H. (717-719 M) memegang peranan penting dalam kegiatan tersebut. Beliau yang telah menginstruksikan kepada Abu Bakar Bin Hazm dan kepada seluruh aparatnya di daerah agar meneliti perkembangan hadith, kemudian mencatatnya. Latar belakang dari instruksi tersebut adalah kekhawatiran terbengkalainya hadith berbarengan dengan wafatnya para ahlinya. Surat intruksi yang sama juga di berikan pada gurbernur di berbagai negara agar mereka bisa bekerja sama dengan para ulama’untuk mengumpulkan hadist-hadist yang ada di daerah masing-masing.
Pada mulanya memang terjadi hambatan karena para ulama’ lebih suka meriwayatkan hadits secara lisan dan berpegang pada hafalan dari pada tulisan. Umar Bin Abdul Aziz akhirnya bisa menyadarkan mereka dan kemudian mereka memandang penulisan hadits sebagai sesuatu yang harus di lakukan untuk memelihara dan menyelamatkan hadits.
Ibnu Shihab Al-Zuhri adalah salah satu di antara tokoh tabi’in yang bersikap sangat positif terhadap instruksi khalifah, dan segera merealisasikan instruksi tersebut dalam bentuk pembukuan, meskipun belum sistematis sebagaimana karya pada masa sebelumnya. Kemudian di berbagai kota juga di ikuti oleh para ulama’ sesudah Al-Zuhri seperti: Ibnu Furayj (W. 150 H) di makkah, Ibnu Ishaq(W. 151 H) dan Malik Bin Annas (W. 179) di madinah, Rabi’ bin Sahih (W. 160 H), Said Bin Abi Arubah (W. 156 H), Hammad Bin Salamah (W. 176 H), di Basrah, Sufyan Al-Sawri (W. 161 H) di Kuffsh, Al-Awza’i (W. 156 H) di Syam, Ma’mar (W. 153 H) di Yaman, Jarir Ibnu Abdul Hamid (W. 188 H) dan Ibnu Mubarrak (W. 181 H) di Khurasan. Mereka semua adalah generasi sejaman, namun tidak di ketahui di antara mereka siapa yang lebih dahulu melakukan pembukuan hadits. Usaha mereka yang berbentuk karya itu masih beragam sistematikanya.

1.      Hadist Palsu
Pada kurun abad II ini terjadi pergeseran kekhalifahan dari dinasti Bani Umayyah (41-132 H/661-750/750-1258 M). Pada kurun waktu ini banyak di temukan pihak yang baik dengan sengaja atau tidak sengaja telah menimbulkan kemerosotan citra hadits dengan membuat hadits palsu. Lahirnya hadits palsu dimulai sejak timbulnya perpecahan di kalangan umat islam sejak lahirnya kelompok khawarij, syi’ah dan lain sebagainya. Peran pemalsuan ini pada garis besarnya ada tiga kategori yaitu :

a.       Propagandis Politik
Propagandis politik setidaknya terdiri dari kelompok yang fanatik kepada dinasti Abbasiyah. Masing-masing menciptakan fatwah yang sifatnya mendukung aliran politiknya dan mengecam aliran lain. Di samping itu syi’ah dan khawarij tidak lepas dari kegiatan tersebut, dan hadits yang menjadi tumpuan pemalsuan, karena tidak mungkin menambah ayat Al-Quran, maka sesuatu yang di harapkan untuk di percaya dengan mudah oleh awam adalah hadits, dan kebetulan hadits tidak tertulis secara jelas seperti Al-Quran.
Contoh hadits sebagai akibat dari fanatisme aliran politik kelompok syi’ah adalah pengukuhan wasiat Rasulullah SAW kepada Ali untuk memegang khalifah setelah beliau wafat. Sehingga mereka membuat hadits palsu yang banyak.


b.      Golongan Zindiq
Jama’nya Zanadiqah, menurut Abu Zahwu adalah kelompok orang yang lahirnya mendukung islamtetapi batinnya sebenarnya memusuhi. Dengan kata lain mereka adalah orang kafir yang memakai baju islam. Kelompok Zindiq banyak yang melontarkan pandangan berlawanan dengan tujuan pokok islam dengan maksud untuk merongrong keyakinan umat Islam sedikit demi sedikit agar menjauh dari Islam.
Pada abad II H perkembangan kelompok semacam ini bertambah pesat dan lahirlah usaha mereka memalsukan hadits. Tindakan keras dari kalangan Abbasyiah kepada mereka di sebabkan mereka membuat hadits palsu atas nama Rasulullah SAW untuk menciptakan opini masyarakt membenci keluarga Abbasiyah. Namun usaha mereka di hambat oleh para ulama’ dengan upaya pemeriksaan hadits, atau kritik hadits. Menurut Al-Suyuti ada dua riwayat yang menyatakan bahwaKhalifah Harun Al-Rasyid menjatuhkan hukuman mati terhadap seorang pengikut Zindiq.

c.       Ahli Cerita/Dongeng (Al-Qassas)
Sebenarnya dalam kenyataan bukan hanya tiga kelompok tersebut yang biasa memalsu hadits, tetapi juga penganut firqah tertentu semisal murji’ah dan mujassimah, dengan tujuan mendukung pandangan yang di lontarkan ke tengah masyarakat. Kondisi seperti ini merupakan tantangan yang besar yang di hadapi oleh ahli hadits.
Maka layaknya kalau para ulama’ bekerja keras untuk menentang usaha pemalsuan hadits ini. Upaya mereka diantaranya membatasi penerimaan hadits dengan syarat-syarat yang ketat. Misalnya:
1)        Orang yang safih, yakni orang dungu.
2)        Orang yang memprogandakan alirannya.
3)        Orang yang berdusta dalam pembicaraan sehari-hari walaupun belum terbukti bahwadia melakukan pemalsuan hadits, dan
4)        Orang yang tidak mengetahui seluk beluk hadits walaupun dia seorang yang shalih dan ahli ibadah.

Ibn ‘Adi menyatakan bahwa dikalangan tabi’in banyak ditemukan orang yang lemah di bidang hadith,sehingga banyak sekali yang memursalkan riwayat dan memarfu’kan yang mawquf. Contoh yang popular adalah Abu Harun Al- Abdari.
Pada saat itulah ulama’ Ahl- Al-Tajrih dan Ta’dil. Kegiatan mereka adalah menilai para periwayat hadith dengan tujuan membuat pemilahan rawi yang dapat diterima, yang diragukan yang harus ditolak riwayatnya.
Eksistensi hadith sejak abad 11 H sudah mulai terdapat kelompok yang menolak hadith sebagai dasar agama. Mereka terdiri dari 3 kategori yaitu:
a.       Menolak Hadist secara keseluruhan.
b.      Menolak semua hadist yang tidak mutawattir.
c.       Menolak hadist yang menetapkan hukum sendiri diluar Al-Qur’an.
Ulama yang paling tekun dan menyumbangkan seluruh hidupnya untuk menegakkan eksistensi al-sunnah adalah Muhammad Bin Idris Al- Shafi’I (150- 204 H). Oleh karenanya beliau mendapat gelar Nasir  Al- sunnah ( penolong sunnah ). Seluruh argumentasinya dituangkan dalam kitab yang dikenalAl- Umm. Dengan upaya tersebut para penolak al- sunnah menjadi surut dan kemudian diterima sebagai dasar syari’at islam. Hanya saja para ulama tetap bersikap cermat dalam menerima hadith ahad, yang kemudian dijadikan obyek penelitian hadith untuk menetukan nilai sahih, Hasan dan da’if.

2.      Kodifikasi Hadist Pada Abad 3 Hijriyah
Memasuki periode ini , pelembagaan hadits mencapai suatu era pencerahandi satu sisi, namun pada situasi lain menghadapi suatu kondisi yang lebih memprihatinkan, di bandingkan dengan periode-periode sebelumnya.periode ini berawal dari permulaan abad ke tiga hijriyah hingga akhir masa abad itu. Sementara momentum yang turut mewarnai dalam periode ini adalah terjadinya pertentangan antara ide-ide antara muhaddithin (ahli hadits) dengan mutakallimin (ahli ilmu kalam). Sebagai akibat dari peristiwa ini pada gilirannya memunculkan suatu kelompok yang bermaksud mengobarkan api pemalsuan hadits yang percikannya sudah lama di padamkan bangkitnya ulama, terutama pada huffaz al-hadits. Sehingga terciptakan pelembagaan hadits semakin mantap di kalangan masyarakat muslim.
Khalifah dari Dinasti Abbasiyah yang mengendalikan kekuasaan pemerintahan pada masa itu, turut serta berusaha meredam pertentangan diantara kedua golongan itu, dan menghancurkan eksisitensi kelompok zindiq yang berusaha membuat fitnah terhadap golongan muhaddithin. Pada situasi yang mengalami demikian, Kholifah Abbasiyah Al-Ma’mun (w. 218 H ) berusaha mempertemukan kubu itu agar keduanya ber- munazarah ( diskusi ) untuk menyatakan paham yang selama itu terjadi selisih pendapat. Namun sikap Al- Ma’mun dirasa oleh Muhaddithin tidak obyektif, dan nampak memihak kepada ulama mutakallimin dengan membuat tekanan kepada ulama Muhaddithin, serta menuduh ulama muhaddithin justru yang dianggap membuat pemalsuan hadith.Tekanan dan mihnah yang dihadapi ulama muhaddithin, semakin memperkokoh semangat mereka untuk mempertahankankesalafan yang mereka anut.
Hadits-hadits yang mereka koleksi dalam wujud karya penulisan, mulai di pisahkan dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, meskipun masih bercampur antara yang shahih dan yang dha’if. Berguru pada keadaan demikian itu, lahirlah dua muhaddithin (ahli hadits) yang berusaha memadukan antara metode periwayatan hadits nabi dean penulisannya dalam bentuk karya kitabkedua muhaddithin adalah: Muhammad bin ismail al-bukhari (w. 261 H) dan muslim biun hajjaj al-qushayri (w. 262).
Beberapa tokoh dari kalangan muhaddithin (ahli hadits) yang muncul kemudian dengan beberapa karyanya antara lain:
1.      Abu dawud al-tayalisi (w. 275 H) dengan kitabnya sunan abu dawud
2.      Al-tirmidhi (w. 275 H) yang menyusun kitab al-jami’al sahih li al-tirmidhi, al-Nasa’I (W. 303 H) kitabnya sunan al-nasa’I dan
3.      Ibn majjah (w. 237 H) kitabnya sunan ibnu majjah.

Sedangakn kitab yang berisi polemik hadits, yang sengaja di susun untuk membuat sanggahan terhadap kelompok muhaddithin (ahli hadits), ialah kitab yang di tulis oleh ibn qutaybh, dengan judul mukhtalif al hadits fi al raddi ‘ala a’da’ al-hadits. Kitab ini secara keseluruhan berisi hadits-hadits yang menjadi polemik di kalangan ulama’ mutakallim (ahli ilmu kalam).

1.      Aktivitas pemalsuan hadits
Di samping persaingan antara kelompok amawiyah dengan abbasyiah di gunakan untuk memalsukan hadits, persaingan etnis, seperti arab-persi, juga menjadi bahan untuk membuat riwayat palsu. Lahirlah riwayat memuji atau mencela salah satupihak, atau tempat tertentu yang berada di kawasan arab dan Persia.
Dengan demikian telah banyak unsure yang memproduksi riwayat palsu, sejak dari firqah (perbedaan) politik, teologi, zindiq, pencerita sampai pada kelompok etnis. Dapat di bayangakan betapa berat tugas yang harus di hadapi ahli hadits untuk menyaring hadits shahih di antara sekian banyak yang palsu. Dengan kenyataan tersebut timbul inisiatif ulama’ untuk membukukan hadits secara sistematis, dengan memisahkan antara yang shahih dan yang tidak. Pada kurun waktu inilah tersusun kitab-kitab kumpulan hadits seperti al-jami’ all-shahih, shahih muslim dan lain sebagainya.

2.      Pembukuan hadits
Sebagai jawaban terhadap pemalsuan hadits maupun tuduhan bahwa ahli hadits telah menyebrkan riwayat yang bertentangan, musykil dan penuh kufarat, kalangan ahli hadits melakukan beberapa cara untuk memelihara kemurnian hadits.
Pertama dengan menginvestarisasi kritik yang di lontarkan oleh kelompok mutakallimin, kemudian memberikan penjelasan dan jawabannya. Hal ini di lakukan oleh abu Muhammad Abdullah bin muslim bin qutaybah al-dinuri (w. 276 H) dalam kitabnya ta’wil mukhtalaf al hadits. Kandungan kitab ini mencakup tiga pokok pembicaraan:
1.        Tantangan terhadap kritik dari kelompok penantang hadits.
2.        Mengkrompomikan yang di nilai bertentangan.
3.        Jawaban terhadap tuduhan bahwa hadits di penuhi oleh musykilat dan shubhat.

Kedua, menghimpun hadits dengan system musnad, yakni pengelompokan yang di dasarkan kepada nama seorang sahabat, tidak di bedakan aapakah riwayatnya sama atau tidak. Jadi tidak di susun menurut sistematika fiqh.
Di antara musnad yang di susun pada abad ke tiga adalah:
a.       Musnad ubaydillah bin musa (w.213 H)
b.      Musnad al-humaydi (w. 219 H)
c.       Musnad musaddad (w. 228 H)
d.      Musnad ishaq bin rahawayh (w. 237 H)
e.       Musnad usman bin shaybah (w. 239 H)
f.       Musnad ahmad bin hanbal (w. 241 H)

Ketiga, menyusun riwayat dengan basis fiqh, yaitu dengan pengelompokan berdasarkan kitab fiqh, dalam hal ini ada yang menghimpun semua hadits, tetapi ada pula yang membatasi pda yang shahih saja. Perintis metode ketiga ini adalah Muhammad bin isma’il al bukhari (w. 256 H) dalam kitabnya jami’ al-musnad al-shahih muslim, dan di ikuti oleh al nasa’I, abu dawud dan al-tirmidhi. Metode yang terakhir inilah yang memberi kemudian kepada para pengahji hadits.
Literature hadits yangberhasil di susun pada abad ketiga yang sampai saat ini dapat di temukan:
1.      Al-musnad, imam ahmad
2.      Al-jami’ al shahih, imam al-bukhari
3.      Shahih muslim, imam muslim
4.      Al-sunnah al-kubra dan mujtaba, imam al-nawawi
5.      Al-sunnah, imam abu dawud
6.      Al-jami’ al-shahih atau sunan, imam tirmidhi
7.      Al-sunnah, imam ibnu majjah al-qazwayni.
Menurut perkiraan ahli hadits literature tersebut telah mengakar sebagian besar riwayat dari rasulullah SAW, sehingga mereka sepakat tujuh kitab tersebut sebagai induk kitab hadits (ummahat kutub al-hadits). Dari tujuh literature hadits di atas dapat di bedakan menjadi tiga istilah, yaitu:
a.         al-musnad, yang di susun berdasarkan entri nama sahabat.
b.        Al-jami’ al-shahih, yang di maksud oleh penyusunnya untuk menghimpun hadits yang shahih saja.
c.         Al-sunnah, yang di maksud oleh penyusunnya menghimpun semua kategori hadits, shahih, hasan atau dha’if.

Selanjutnya timbul juga peristilahan untuk memudahkan penyebutan literature secara bersama yaitu:

1.      Al-shahihainiuntuk kitab Bukhari dan Muslim.
2.      Al-Thalatha’, untuk kitab Abu Dawud, Tirmidzi, nsa’i.
3.      Al-Arba’ah, untuk kitab Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majjah.
4.      Al-Sittah, untuk kitab Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majjah.
5.      Al-Sab’ah, untuk kitab Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majjah, dan Ahmad.

3.      Kodifikasi Hadist Pada Abad 4 Hijriyah Sampai Pertengahan Abad 7 Hijriah
Kalau abad pertama, kedua, ketiga hadits secara berturut – turut mengalami masa periwayatan, penulisan, pembukuan, serta penyaringan dari fatwa –fatwa sahabat dan tabi’in. Masa seleksi dilanjutkan dengan masa pemgembangan dan penyempurnaan sistem penyusunan kitab – kitab hadits. Masa ini disebut dengan ‘asr al – tahdzib wa al- taqrib wa al istidrak wa al – jam’i ( masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan). Penyusunan kitab –kitab pada masa ini lebih mengarah pada usaha mengembangkan beberapa variasi yang ada. Maka setelah berjalan beberapa saat dari munculnya Al – Kutub, Al Sittah, Al Muwatha’ karya Malik bin Anas, Al- Musnad karya Ahmad Bin Hanbal, para ulama mengalihkan perhatian mereka untuk mrenyusun kitab – kitab yang berisi pengembangan dan penyempurnaan sistem penyusunan kitab – kitab hadits. Ulama hadits sebelum abad IV H disebut ulama muttaqaddimun, dan ulama’ hadits setelah abad IV H disebut ulama muttaakhirun.
Diantara kitab yang disusun pada masa ini adalah kitab Al Mustakhraj, yaitu kitab hadits yang disusun berdasarkan penulisan kembali hadits – hadits yang terdapat pada kitab lain kemudian penulis kitab itu mencantumkan sanad dari dirinya. Misalnya, kitab Mustakhraj Shahih Al – Bukhori antara lain : kitab Al Mustakhraj karya al – Ismaili ( w. 371 H), kitab Al Mustakhraj karya Al – Ghithrifi (w. 377 H ), dan kitab Al Mustakhraj oleh Ibn Abi Zuhl ( w. 378 H ). Kitab Mustakhraj Shahih Muslim antara lain : Al Mustakhraj karya Abu ‘Awanah Al – Asfarayani ( w. 316 H ), Al- Mustakhraj karya Al – Humairi ( w. 311 H ) dan Al- Mustakhraj olehHamid Al Harawi (w. 355H ). Demikian pula  kitab – kitab Al – Mustadrak, yaitu kitab yang sebagian haditsnya disusun dengan menyusulkan hadits – hadits yang tidak tercantum dalam suatu kitab hadits yang lain. Namun dalam menulis hadits – hadits susulan itu, penulis kitab ini mengikuti persyaratan periwayatan hadits yang dipakai oleh kitab yang lain tersebut. Misalnya al – hakim al – naisaburi (w. 405 H ), penulis kitab Al – Mustadrak ala al – shahihain yang berisi hadits – hadits yang dinilai shahih yang tidak termuat dalam kitab Shahih Bukhori dan Shahih Muslim.
Kitab – kitab Al – Zawaid juga termasuk salah satu kitab katagori ini, yaitu kitab yang disusun dengan menghimpun hadits – hadits tambahan dalam suatu kitab yang tidak terdapat dalam kitab – kitab lainnya. Misalnya kitab Al – Misbah Al – Zujajah Fi Zawaid Ibn Majah karya Al – Bussayri ( w. 840 H ) yang mengandung hadits – hadits yang hanya ditulis oleh Ibn Majah ( w. 273 H ) dalam kitab susunannya tetapi tidak terdapat dalam lima kitab hadits yang lain, yaitu Shahih Bukhori, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan at – tirmidzi dan Sunan Al – Nasa’i.
Secara politis, masa ini hampir sama dengan masa sebelumnya. Namun kekuatan – kekuatan dari luar islam sudah mulai menggeliat. Hal ini dibuktikan dengan dikuasainya Bayt Al – Maqdis di Yerussalem oleh tentara salib dan puncaknya Baghdad runtuh oleh serangan Jengis Khan.
Usaha – usaha ulama pada abad ini meliputi :
1.         Mengumpulkan hadits - hadits Bukhori dan Muslim dalam sebuah kitab, seperti dilakukan oleh Muhammad Ibn ‘Abd Allah Al –Jawzaqa dengan kitabnya al _ jami’ al bayn al shahihain.
2.         Mengumpulkan hadits – hadits di kitab enam hadits dalam sebuah kitab, dilakukan oleh Ibn al – Khurath dengan kitabnya Al – Jami’.
3.         Mengumpulkan hadits – hadits dari berbagai kitab ke dalam satu kitab yang dilakukan oleh Imam Husain Ibn Mas’ud Al – Baghawi (516 H) dalam kitabnya mashahib al – Sunnah yang kemudian diseleksi oleh Al Khat Ibn At Thabrizi dengan kitab misykah al masyabih.
4.         Mengumpulkan hadits – hadits hukum dalam suatu kitab hadits, dilakukan oleh Ibn Taimiyah dengan kitabnya muntaqa al – akbar kemudian disyarahi oleh Al – Syawkani dengan kitabnya nail al author.
5.         Menyusun pokok – pokok hadits dalam kitab shahih bukhori dan muslim sebagai petunjuk materi hadits keseluruhan,  seperti Ibrahim Al – Dimasyqi (w. 400H) dengan kitab athraf As- shahihain.

Mentakhrij dari kitab – kitab hadits tertentu, kemudian meriwayatkan dengan sanad sendiri yang lain sanad yang sudah ada dalam kitab – kitab tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh Al – Hafidz Abu Awanah (w. 316H) dengan kitabnya mustakhraj shahih muslim.

4.      Kodifikasi Hadist Pada Tahun 656 Hijriah Sampai Sekarang
Periode ini dimulai bersamaan dengan jatuhnya Dinasti Abbasiyah ke keuasaan kerajaan Tartar pada tahun 656 H, dan diambil alihnya Daulah Ayyubiah di Mesir oleh dinasti Mamalik, tepatnya pada akhir abad ke 7 sampai abad modern. Gerakan pelembagaan ini sudah merambah semakin luas, baik wilayah maupun aktifitasnya. Dan keterlimbatannya tidak hanya didominasi lagi oleh kalangan muslim, namun juga orang-orang diluar muslim yang memiliki keinginan terhadap studi teks-teks agama.
Pada periode ini dihadapkan pada situasi dari yang cukup klasik (salaf) sampai modern dan kompleks, termasuk juga dengan dunia sains dan teknologi, disamping suhu politik di bebagai kawasan. Demikian juga lahirnya gerakan Inkar Al-Sunnah, meskipun benih-benihnya sudah muncul sejak periode klasik (salaf), merupakan nuansa yang ikut mengaktifkan gerakan pelembagaan hadist. Situasi itulah yang sekaligus menjadi ciri-ciri gerakan periode ini, dibanding dengan periode-periode sebelumnya.
Pelembagaan hadist di Mesir pada awal abad ke 7 Hijriah masih berada dalam kendali ulama-ulama besar di masanya. Bahkan para Sultan dari Daulah Mamalik yang berkuasa di Mesir pada masa itu sangat memberikan andil besar, terutama pada ulama-ulama hadist. Ia menganjurkan kepada para ulama agar mendirikan Jami’ah dan madrasah-madrasah hadist, dibawah pengasuh baik oleh ulama-ulama hadist mesir sendiri, maupun didatangkan dari luar.
Namun, gerakan-gerakan di Mesir itu hampir beku sampai disitu, karena jatuhnya Daulah Mamalik. Pada awal abad kesepuluh hijriah, sangat berdampak pada aktifitas para ulama. Dan tidak menyembunyikan fakta bahwa Sultan yang berkuasa pada masa itu turut terlibat dalam periwayatan kitab-kitab hadist karya ulama-ulama sebelumnya.


[1] John Echols, M. Hasan shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia,1996), 122.
[2]Zainul Arifin, Studi Hadis, (Surabaya: Alpha, 2005), 34
[3] Ibid, 35



KESIMPULAN DAN PENUTUP

Dari pembahasan makalah tersebut diatas, kami dapat menyimpulkan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Walaupun diakui hafalan merupakan salah satu tradisi yang dijunjung tinggi dalam pemeliharaan dan pengembangan pengetahuan, dan konon orang-orang Arab terkenal mempunyai kekuatan hafalan yang tinggi,  bahkan para penghafal masih banyak yang beranggapan bahwa penulisan hadis tidak diperkenankan, namun ternyata tradisi penulisan hadis sudah dilakukan sejak zaman Nabi.
Tradisi tulis hadis memang sudah ada sejak masa Nabi, tapi bukan berarti semua hadis Nabi sudah dibukukan sejak zaman Nabi tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari tidak dibukukannya hadis secara resmi saat itu, sedang sahabat yang menulis hadis itu lebih didorong oleh keinginan dirinya sendiri. Padahal koordinasi antara sahabat untuk merekam seluruh aspek kehidupan Nabi tidak ditemukan tanda-tandanya.
Nabi SAW hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka selalu bertemu dan berinteraksi dengan beliau secara bebas. Menurut T.M.Hasbi Ash Shiddieqy, bahwa tidak ada ketentuan protokol yang menghalangi mereka bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk ke rumah Nabi, di kala beliau tak ada di rumah, dan berbicara dengan para istri Nabi, tanpa hijab. Nabi bergaul dengan mereka di rumah, di mesjid, di pasar, di jalan, di dalam safar dan di dalam hadlar.
Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga ucapan dan tutur kata Nabi menjadi tumpuan
perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik Nabi menjadi contoh dan pedoman hidup mereka. Para sahabat sangat memperhatikan perilaku Nabi dan sangat memerlukan untuk mengetahui segala apa yang disabdakan Nabi. Mereka tentu meyakini, bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan menaati apa-apa yang diperintahkan Nabi.

DAFTAR PUSTAKA

Al Hadi, Abu Azam. 2008. Studi Al-Hadith. Jember : Pena Salsabila.
Abduh Almanar, Muhammad. 2011. Studi Ilmu Hadist. Jakarta : GP Press.